Soeharto dan Kontroversi Pahlawan Nasional

0
45
Presiden Soeharto. (Foto: Istimewa)

Spoiler.id – Di tengah upaya bangsa menata ingatan sejarah dan menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto kembali memunculkan perdebatan tajam. Nama presiden dengan masa kekuasaan terpanjang di Indonesia itu menjadi sorotan, karena di satu sisi dikenal membawa stabilitas dan pembangunan, namun di sisi lain meninggalkan jejak kekerasan dan represi yang panjang.

Transisi kekuasaan 1965–1966 menandai awal Orde Baru di bawah Soeharto. Masa itu juga menyisakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern Indonesia, dengan estimasi 500.000 hingga 1 juta korban tewas akibat pembersihan terhadap mereka yang dituduh anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia. Ratusan ribu lainnya ditahan tanpa proses hukum, mengalami penyiksaan, dan hidup terpinggirkan selama puluhan tahun. Laporan dari Amnesty International, Human Rights Watch, hingga Komnas HAM menegaskan kekerasan tersebut sistematis dan melibatkan struktur militer. Sejarawan Geoffrey Robinson dalam The Killing Season menyebut operasi ini terencana dan difasilitasi kepentingan politik global di masa Perang Dingin. Beberapa akademisi bahkan menyebut tragedi ini sebagai politicide, bahkan memenuhi unsur genosida politik.

Meski demikian, rezim Soeharto meninggalkan jejak pembangunan fisik dan ekonomi yang masif. Program swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, dan stabilitas politik kerap menjadi alasan pengusulan gelar pahlawan nasional. Namun pencapaian itu dibarengi kontrol ketat terhadap kebebasan sipil, pembungkaman oposisi, dan pelanggaran hak politik warga negara. Pemberian gelar pahlawan tanpa pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM dikhawatirkan menjadi legitimasi narasi tunggal sejarah yang meniadakan luka korban.

Proses rekonsiliasi nasional atas pelanggaran HAM masa lalu juga masih berjalan lambat. Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan pro justisia terkait Tragedi 1965, tetapi Kejaksaan Agung belum melanjutkan penuntutan. Korban dan keluarga terus menuntut pengakuan, permintaan maaf negara, dan rehabilitasi sosial yang layak. Menurut prinsip transitional justice, penghormatan terhadap tokoh masa lalu hanya layak diberikan jika disertai kebenaran dan akuntabilitas. Penghargaan tanpa akuntabilitas justru mengingkari sejarah, berbeda dengan contoh negara lain seperti Jerman atau Afrika Selatan yang menyeimbangkan pengakuan masa lalu dengan keadilan bagi korban.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 menegaskan bahwa gelar pahlawan nasional hanya diberikan kepada tokoh yang memiliki integritas moral, nasionalisme tinggi, dan tidak mencederai kemanusiaan. Tanpa kejelasan pertanggungjawaban terhadap pelanggaran HAM di masa kekuasaan Soeharto, pemberian gelar tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi pendidikan sejarah, mengaburkan batas antara pelaku dan korban, dan melemahkan upaya keadilan bagi penyintas.

Sebelum nama Soeharto dicantumkan dalam daftar pahlawan nasional, negara seharusnya terlebih dahulu menempatkan korban pelanggaran HAM dalam daftar yang lebih penting: mereka yang perlu diakui, dipulihkan, dan diingat. Pahlawan nasional bukan sekadar soal jasa pembangunan, tetapi soal nilai kemanusiaan dan keadilan. Bangsa yang berani menghadapi masa lalunya secara jujur adalah bangsa yang merdeka secara moral. Sampai proses kebenaran itu tuntas, gelar pahlawan bagi Soeharto lebih tepat dipandang sebagai pengingkaran daripada penghormatan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here