Jakarta, Spoiler.id – Sejarah kapitalisme di Indonesia selalu ditandai oleh perebutan kendali atas sumber daya. Pada masa kolonial, yang direbut adalah tanah dan tenaga kerja. Pada era Orde Baru, eksploitasi beralih pada sumber daya alam dan ruang sosial. Kini, di abad ke-21, bentuk perampasan itu bergeser ke ranah data dan algoritma.
Ekonom politik David Harvey menyebut fenomena ini sebagai accumulation by dispossession—akumulasi melalui perampasan—yakni proses di mana aset kolektif masyarakat diubah menjadi komoditas privat demi pertumbuhan kapital. Jika dulu yang dirampas adalah tanah, kini yang dieksploitasi adalah data.
Dalam ekonomi digital, data menjadi sumber daya utama sebagaimana minyak di era industri. Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism menggambarkan bagaimana perusahaan teknologi global memonetisasi perilaku manusia melalui data, menciptakan “surplus perilaku” untuk kepentingan bisnis.
Dengan lebih dari 213 juta pengguna internet (DataReportal, 2024), Indonesia kini menjadi pasar digital terbesar di Asia Tenggara sekaligus laboratorium baru kapitalisme digital. Aktivitas harian masyarakat—dari pencarian di Google, pemesanan Gojek, hingga menonton TikTok—menjadi bahan bakar bagi ekonomi platform yang dikendalikan korporasi global.
Nick Srnicek menyebut sistem ini sebagai platform capitalism, fase kapitalisme yang bertumpu pada platform digital sebagai infrastruktur utama. Di bawah skema tersebut, pengguna berperan sebagai “produsen tak dibayar”, sementara keuntungan terpusat di tangan korporasi besar. Fenomena ini paling nyata terlihat dalam gig economy, di mana pekerja seperti pengemudi ojek daring atau penulis lepas bekerja tanpa kepastian upah maupun jaminan sosial.
Studi Khawarizmi (2023) mencatat, lebih dari 60 persen pekerja lepas di Indonesia menghadapi persaingan tinggi dan upah rendah, sementara biaya produksi seperti perangkat dan internet ditanggung sendiri. Fleksibilitas yang dipromosikan sebagai kebebasan sesungguhnya menjadi bentuk baru perampasan hak-hak pekerja.
Dalam perspektif sistem dunia Immanuel Wallerstein, Indonesia menempati posisi periphery—pemasok bahan mentah bagi pusat kapital global. Kini, pola lama itu berulang: data menjadi komoditas mentah, sedangkan nilai tambahnya dikuasai perusahaan teknologi asing.
Ekonomi digital Indonesia bernilai lebih dari 80 miliar dolar AS (Google, Temasek & Bain, 2024), tetapi sebagian besar infrastruktur dan investasinya masih bergantung pada korporasi luar negeri. Arus nilai kini bukan lagi hasil bumi ke Eropa, melainkan data ke pusat server global milik Amazon, Google, dan Microsoft.
Perjanjian perdagangan digital antara Indonesia dan Amerika Serikat pada 2025, misalnya, mencantumkan klausul yang menjamin kebebasan transfer data ke luar negeri. Meskipun pemerintah menegaskan kesesuaiannya dengan UU Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022), hal itu menunjukkan data warga telah menjadi bagian dari sirkuit kapital global.
Fenomena ini oleh Nick Couldry dan Ulises Mejias disebut sebagai data colonialism —kolonialisme data—di mana kehidupan sosial manusia dijadikan sumber daya baru untuk diekstraksi. Kasus kebocoran data BPJS Kesehatan dan e-commerce besar memperlihatkan lemahnya kedaulatan data nasional serta rendahnya literasi digital masyarakat.
Di era kecerdasan buatan (AI), bentuk perampasan menjadi semakin tidak kasat mata. Ribuan pekerja digital di Indonesia kini menjadi data annotator dan content moderator bagi perusahaan global, menciptakan nilai ekonomi tanpa kendali atas hasilnya.
Dalam proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), ambisi menuju smart city juga menghadapi risiko yang sama. Tanpa kedaulatan atas data dan algoritma, Nusantara berpotensi menjadi laboratorium baru kapitalisme pengawasan. Pembangunan pusat data oleh AWS, Google, dan Microsoft di Bekasi dan Batam menunjukkan orientasi kebijakan yang masih berpusat pada investasi, bukan kemandirian digital.
Namun di tengah arus dominasi tersebut, mulai muncul gerakan perlawanan. Komunitas teknologi lokal dan masyarakat sipil mendorong data sovereignty serta ekonomi digital berbasis commons. Upaya advokasi UU Perlindungan Data Pribadi, pengembangan perangkat lunak terbuka (open source), dan pembangunan cloud nasional menjadi langkah awal menuju kedaulatan digital.
Sejarah perampasan di Indonesia memperlihatkan kesinambungan yang jelas: dari rempah VOC, tanah kolonial, sumber daya Orde Baru, hingga data dan algoritma di era digital. Tantangan utama Indonesia kini bukan hanya memperluas transformasi digital, tetapi memastikan siapa yang menguasai nilai dari transformasi itu.
Kedaulatan digital sejati berarti mengembalikan kendali atas infrastruktur, algoritma, dan nilai ekonomi digital ke tangan rakyat. Selama data masih dianggap komoditas, dan algoritma lebih berkuasa daripada warga, maka sejarah perampasan di negeri ini belum berakhir—ia hanya berganti bentuk.
Oleh: Mei Suciati, Peneliti, Junior researcher di Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES.
















































