PDIP Kritik Pemerintah Abaikan Penolakan Publik atas Gelar Pahlawan untuk Soeharto

0
32
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Spoiler.id – Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menilai pemerintah mengabaikan suara penolakan publik terhadap keputusan penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto. Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, keputusan tersebut tidak bisa dilepaskan dari catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa Orde Baru.

“Sudah berapa banyak penolakan dari kelompok masyarakat, bahkan dari rakyat Indonesia sendiri, terhadap pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto. Tapi pemerintah seperti tuli dan mengabaikan,” kata Andreas Hugo Pareira dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (10/11/2025).

Andreas menyebut bahwa pemberian gelar pahlawan nasional seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran sejarah bangsa, bukan ajang pembenaran politik. Ia menegaskan, keputusan tersebut tidak boleh didasari kepentingan kelompok tertentu.

“Jangan sampai pemberian gelar pahlawan nasional hanya demi kepentingan politik atau kepentingan kelompok tertentu karena akan mencederai rasa keadilan rakyat,” ujarnya.

Anggota Komisi XIII yang juga membidangi isu HAM itu menyoroti catatan pelanggaran HAM dan praktik kekuasaan represif pada masa pemerintahan Soeharto. Ia menilai, negara seharusnya tidak mengabaikan fakta sejarah yang mencakup berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat.

“Dalam sejarah kita, ada kasus penghilangan paksa, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, hingga kekerasan menjelang kejatuhan Soeharto pada Mei 1998. Itu semua tidak bisa dihapus begitu saja,” kata Andreas.

Ia menambahkan, rekam jejak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melekat pada masa Orde Baru juga menjadi alasan moral mengapa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto patut dipertanyakan.

“Kita tidak boleh lupa bahwa Soeharto punya jejak sejarah kelam, yang sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya dalam hal pelanggaran HAM dan praktik KKN selama ia memimpin negeri ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Andreas menekankan pentingnya kejujuran sejarah dalam setiap penghargaan terhadap tokoh bangsa. Menurutnya, penghargaan sejati harus mampu mengakui sisi terang dan sisi kelam masa lalu sebagai bagian dari proses rekonsiliasi nasional.

“Bangsa Indonesia harus menempatkan sejarahnya secara utuh, menghargai jasa sekaligus mengakui sisi kelamnya. Rekonsiliasi sejati hanya bisa lahir dari kejujuran sejarah, bukan dari penghapusan jejak masa lalu,” pungkasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here