Jakarta, Spoiler.id – Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto menimbulkan perdebatan moral dan politik di tengah masyarakat. Bagi sebagian kalangan, keputusan ini bukan bentuk penghormatan, melainkan upaya mengaburkan ingatan sejarah atas pelanggaran kemanusiaan dan penyalahgunaan kekuasaan selama Orde Baru.
Dalam novelnya yang terkenal 1984, George Orwell menulis, “War is peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength.” Kalimat itu menjadi simbol bagaimana kekuasaan dapat mengubah makna kata untuk menipu ingatan. Kini, keputusan pemerintah menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional dinilai sebagian pihak sebagai bentuk manipulasi sejarah yang berpotensi melemahkan ingatan kolektif bangsa terhadap masa lalu kelam.
Kementerian Sosial menyebut keputusan tersebut sebagai bagian dari mekanisme resmi, sedangkan Partai Golkar menegaskan usulan itu sudah melalui keputusan partai dan disampaikan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto. Presiden kemudian menetapkan gelar itu secara resmi.
Namun, bagi pengamat politik dan aktivis HAM, istilah “mekanisme” sering kali digunakan sebagai selimut politik yang menutupi niat sesungguhnya. “Keputusan ini bukan tindakan administratif, melainkan ujian moral. Negara seolah ingin melihat seberapa jauh publik masih mampu menolak amnesia sejarah,” ujar seorang aktivis HAM di Jakarta.
Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang memerintah dengan kontrol ketat terhadap kebebasan sipil. Ketakutan menjadi bagian dari kehidupan politik kala itu, sementara kepatuhan dianggap sebagai kewajaran. Dua puluh tujuh tahun setelah kejatuhannya, penghormatan terhadap Soeharto dinilai sebagai bentuk nostalgia kekuasaan yang berupaya menundukkan rakyat melalui romantisasi masa lalu.
Bagi sebagian masyarakat, Soeharto dikenang sebagai pemimpin pembangunan. Namun pertanyaan mendasarnya tetap: stabilitas untuk siapa? Inflasi memang terkendali, tetapi kebebasan rakyat menjadi korban. Negara tumbuh di atas fondasi ketakutan yang dipelihara sebagai alat kendali politik.
Catatan Komnas HAM menunjukkan sedikitnya belasan peristiwa pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan hingga kini. Transparency International bahkan menempatkan Soeharto sebagai kepala negara paling korup di dunia. Fakta-fakta itu menimbulkan pertanyaan tentang dasar moral pemberian gelar kehormatan tersebut.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan mensyaratkan penerima gelar memiliki integritas moral dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Dengan demikian, keputusan ini menimbulkan keraguan etis tentang konsistensi negara menegakkan prinsip moral dalam pemberian penghargaan.
Langkah ini juga terjadi setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN—ketetapan yang secara eksplisit menyinggung Soeharto sebagai simbol penyalahgunaan kekuasaan. Pencabutan itu menandai perubahan arah politik menuju rehabilitasi moral terhadap Orde Baru.
Filsuf Avishai Margalit dalam The Ethics of Memory menulis, bangsa yang sehat bukan yang cepat memaafkan, melainkan yang mampu mengingat secara bermoral. Ingatan kolektif, menurutnya, menjadi dasar bagi etika publik agar masyarakat tidak kehilangan arah moral.
Ketika negara memberi penghargaan kepada tokoh yang dikaitkan dengan pelanggaran kemanusiaan, maka negara sedang menata ulang ingatannya sendiri. Penolakan terhadap keputusan ini muncul dari korban pelanggaran HAM, akademisi, hingga generasi muda. Mereka menilai gelar pahlawan untuk Soeharto bukan penghargaan, tetapi penghapusan terhadap luka sejarah.
Sejarawan menilai bahwa bangsa yang memaafkan tanpa mengakui kesalahan justru sedang membenarkan ketidakadilan. “Pahlawan sejati bukan yang tanpa cela, melainkan yang berani berdiri di sisi kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu menyakitkan,” tulis seorang peneliti sejarah Universitas Indonesia.
Negara, kata para pengamat, boleh menghormati setiap pemimpin masa lalu, tetapi penghormatan tidak boleh berubah menjadi pengudusan. Sejarah yang jujur tidak akan hancur karena pengakuan, melainkan menjadi kuat karena keberanian untuk menyebut kesalahan.
George Orwell pernah mengingatkan, “Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past.” Selama masa lalu dikendalikan oleh mereka yang takut pada kebenaran, masa depan bangsa akan terus dibangun di atas kebohongan yang sama.
Oleh: Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.
















































