SPPG Polri Tuai Pujian, Ahli Gizi Nilai Layak Jadi Role Model Program MBG

0
135

Jakarta, Spoiler.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo Subianto mulai mendapat sorotan dari sejumlah kalangan, terutama para ahli gizi dan kesehatan masyarakat. Evaluasi terhadap kualitas gizi hingga potensi keracunan makanan menjadi sejumlah masukan yang disampaikan dalam forum ilmiah terbaru.

Dalam diskusi bertajuk *Dinamika dan Harapan Menuju Indonesia Emas 2045* yang digelar Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (16/10), pakar kesehatan dari Universitas Yarsi, Prof Tjandra Yoga Aditama, menyampaikan beberapa catatan penting terkait pelaksanaan program MBG.

“Nomor satu tentu evaluasi risiko keracunan makanan. Kita punya banyak pengalaman dan metode yang bisa diterapkan untuk mencegah kejadian serupa. Saya yakin kita mampu meminimalkan risiko itu jika dilakukan dengan serius,” kata Prof Tjandra.

Ia juga menyoroti pentingnya peninjauan terhadap kualitas gizi dalam makanan yang disediakan melalui program MBG. Menurutnya, tidak cukup hanya menyediakan makanan, namun juga harus dipastikan kandungan gizinya benar-benar memenuhi standar kesehatan.

“Sekalian evaluasi status gizinya. Apakah makanan yang disajikan sudah cukup baik? Karena ada juga masyarakat yang mengeluhkan menu yang hanya terdiri dari wortel atau bahan sederhana lainnya. Maka evaluasi aspek gizi ini sangat penting,” ujarnya.

Lebih jauh, Prof Tjandra mengusulkan agar pemerintah membuka kemungkinan berbagai skema distribusi dan pembiayaan. Ia mencontohkan beberapa negara atau wilayah yang menerapkan sistem kolaboratif antara sekolah, pemerintah daerah, atau bahkan kontribusi sebagian dari orang tua murid.

“Saya tidak mengatakan satu sistem lebih baik dari yang lain. Tapi penting untuk melihat berbagai kemungkinan yang sesuai dengan kondisi Indonesia, apakah satu sistem nasional atau pendekatan berbeda di tiap daerah,” katanya.

Ia juga menyinggung praktik baik yang dilakukan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Polri, yang disebutnya sebagai contoh dapur MBG yang sangat memperhatikan aspek kebersihan dan pencegahan keracunan.

“Pada bulan Juni lalu, ada perwakilan Kementerian Pertanian yang mengunjungi SPPG Polri dan mereka mengatakan dapurnya sangat higienis. Ini bisa menjadi contoh bagi pengelolaan dapur lainnya,” tambah Prof Tjandra.

Sementara itu, ahli gizi dari Persagi, Marudut Sitompul, menekankan pentingnya penggunaan pangan lokal dalam pelaksanaan MBG. Ia menilai bahwa pemenuhan gizi tidak harus selalu berbasis nasi atau beras.

“Kearifan lokal harus menjadi bagian dari program ini. Tiap daerah memiliki sumber pangan yang berbeda. Jadi tidak perlu seragam. Misalnya, daerah yang biasa mengonsumsi sagu bisa menggunakan itu, asalkan kandungan gizinya tetap terpenuhi,” ujar Marudut.

Ia menjelaskan bahwa Kementerian Kesehatan telah menetapkan standar gizi dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024 Pasal 5. Namun aturan tersebut tetap memberi ruang bagi fleksibilitas daerah dalam memilih bahan makanan.

“Selama kandungan gizinya sesuai, bahan makanannya bisa disesuaikan. Kalau kangkung tidak ada, bisa diganti dengan bayam. Ini soal pemanfaatan sumber daya lokal,” katanya.

Di sisi lain, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengumumkan bahwa seluruh dapur MBG atau SPPG akan dilengkapi dengan alat rapid test untuk mendeteksi potensi keracunan makanan sebelum distribusi dilakukan.

“Bangunan SPPG yang dibangun Polri memiliki standar tinggi. Mereka bahkan melakukan rapid test sebelum makanan disalurkan. Instruksi Presiden juga menekankan bahwa semua dapur MBG ke depan akan menerapkan langkah serupa,” ujar Dadan saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (1/10).

Langkah ini diharapkan dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap keamanan makanan yang disediakan dalam program MBG.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here