Opini Publik: Vox Populi VD
Spoiler.id – Jika politisi korup lahir dari rakyat yang korup, maka bukan lagi benar bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei).
Sebaliknya, suara rakyat bisa menjadi suara setan — Vox Populi Vox Diablo — ketika pilihan politik lahir dari keserakahan, kebodohan, dan kompromi moral massal.
Seperti kata Cik Ben, “Pemimpinnya beruk, rakyatnya kucing air.”
Sebuah metafora pedas yang menggambarkan simbiosis antara kekuasaan yang rusak dan rakyat yang jinak, takut, tapi ikut menikmati sisa remah dari meja penguasa.
Dalam sistem seperti ini, kebodohan kolektif menjadi pupuk subur bagi tumbuhnya tirani yang berwajah demokrasi.
Rakyat jangan selalu menyalahkan lahirnya politisi yang korup, tamak, dan tidak berpihak pada rakyat. Mereka bukan datang dari ruang hampa; mereka lahir dari kebiasaan sosial rakyat sendiri — dari mentalitas “asal dapat bagian”, “asal sekampung”, “asal diberi amplop”.
Dari kebiasaan menerima kebohongan sebagai hiburan, dan menjadikan moralitas sebagai bahan tawar-menawar.
Plato pernah berkata, “Negara adalah bayangan besar dari jiwa manusia.”
Maka jika jiwa rakyat kotor, negara pun busuk. Politisi korup hanyalah refleksi sosial dari bangsa yang kehilangan malu.
Dalam pandangan Koentjaraningrat, budaya kita kerap menoleransi penyimpangan moral karena faktor kekerabatan dan loyalitas sempit. Ketika keadilan digadaikan demi perasaan sungkan atau rasa terima kasih, maka nilai-nilai publik runtuh perlahan. Politik pun hanya menjadi cermin budaya patronase yang lahir dari masyarakat yang permisif terhadap dosa.
Secara sosiologis, Émile Durkheim menyebut keadaan ini anomie — masyarakat kehilangan arah moral dan norma sosial. Dalam situasi ini, korupsi tidak lagi dianggap penyimpangan, melainkan “kecerdikan sosial”. Kecurangan menjadi bagian dari strategi hidup, bukan lagi aib.
Dalam analisis Antonio Gramsci, kekuasaan korup bertahan karena hegemoni budaya — rakyat diyakinkan bahwa semua pemimpin sama saja, sehingga tak perlu melawan. Rakyat tidak lagi berjuang memperbaiki sistem, tetapi berusaha masuk ke dalamnya agar ikut menikmati remah kekuasaan.
Dan menurut Jean-Paul Sartre, setiap manusia adalah penentu nasibnya. Maka rakyat tidak bisa mencuci tangan dari dosa politik yang mereka sendiri hasilkan. Mereka menanam korupsi dalam pilihan mereka, lalu berpura-pura kaget saat panen busuk datang.
Akhirnya, berangkat dari rakyat yang korup akan melahirkan politisi yang korup pula — hanya saja lebih berkelas, lebih lihai, dan lebih fasih berbicara moral di depan kamera.
Demokrasi tanpa kesadaran hanya melahirkan sandiwara kolektif, di mana rakyat dan penguasa bergantian memerankan korban dan pelaku.
Selama rakyat belum berani berubah, maka Vox Populi Vox Dei hanya akan menjadi mitos kosong dan yang bergaung di ruang demokrasi kita hanyalah Vox Populi Vox Diablo: suara rakyat yang menjerumuskan bangsanya sendiri