Opini Publik: Vox Populi VD
Bengkulu, Spoiler.id – Pemilu seharusnya menjadi jalan menuju keadilan dan kedaulatan rakyat. Namun di negeri ini, ia telah berubah menjadi ritual kebodohan yang diulang setiap lima tahun sekali.
Panggung demokrasi bukan lagi arena perjuangan nilai, melainkan pasar transaksi suara, tempat nurani dilelang dan harga moral ditentukan oleh amplop serta pencitraan.
Rakyat pemilih, yang seharusnya menjadi benteng terakhir moralitas bangsa, justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Mereka menutup mata terhadap rekam jejak, menutup telinga terhadap kebenaran, dan menutup hati terhadap kejujuran. Dari tangan merekalah lahir para penguasa korup dan rakus kuasa — karakter iblis yang tumbuh dari rahim demokrasi yang telah disesatkan.
Kasus dugaan korupsi Parizan Hermedi, anggota DPRD Kota Bengkulu, menjadi bukti nyata bahwa kebusukan politik tidak lahir dari ruang hampa. Ia diduga menyalahgunakan aset publik di Pasar Panorama, memungut uang dari pedagang kecil yang seharusnya ia bela. Tapi ingatlah — ia bukan hasil kesalahan individu semata, melainkan kesepakatan kolektif rakyat yang memilihnya.
Kini, ada 35 anggota DPRD Kota Bengkulu yang duduk atas nama rakyat.
Namun rakyat harus bertanya dengan jujur:
Apakah mereka benar-benar mewakili aspirasi rakyat, atau sekadar melanjutkan tradisi “iblis demokrasi” dalam balutan jas dan pin emas?
Jangan salahkan politisi busuk yang kembali terpilih — salahkan rakyat yang memilihnya.
Jangan kutuk penguasa yang menipu, sebab mereka hanya mencerminkan rakyat yang lebih suka ditipu daripada berpikir.
Mereka yang mencuri dari kas rakyat sejatinya hanyalah bayangan dari rakyat yang rela menjual suaranya dengan harga murah.
Seperti kata pemerhati budaya Bengkulu Cik Ben, “Pemimpinnya beruk, rakyatnya kucing air.”
Sebuah metafora pedas yang menggambarkan simbiosis antara kekuasaan yang rusak dan rakyat yang jinak, takut, tapi ikut menikmati sisa remah dari meja penguasa. Dalam sistem seperti ini, kebodohan kolektif menjadi pupuk subur bagi tumbuhnya tirani yang berwajah demokrasi.
Inilah wajah demokrasi hari ini — demokrasi yang kehilangan nurani, ketika rakyat lebih mencintai citra daripada kebenaran, lebih menghormati uang daripada integritas.
Dalam keadaan seperti ini, Vox Populi Vox Dei berubah menjadi Vox Populi Vox Diablo — suara rakyat yang disetir oleh uang dan kebodohan.
Selama rakyat memilih berdasarkan perut, bukan pikiran; selama suara dibeli dan bukan diperjuangkan; maka negeri ini akan terus melahirkan pemimpin yang menjahati rakyatnya.
Sebab setiap penguasa zalim adalah cermin dari rakyat yang membiarkannya lahir.
Politikus busuk hanyalah aktor; rakyatlah penulis naskahnya.
Dan selama pena itu masih dipegang oleh tangan yang buta dan nurani yang tertidur, panggung demokrasi akan tetap menjadi sandiwara iblis — penuh tepuk tangan dari mereka yang sedang menjual jiwanya sendiri