Jakarta, Spoiler.id – Dibandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, penerimaan perpajakan dalam APBN 2026 hanya naik Rp201,1 triliun, sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) justru turun Rp58,6 triliun. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, namun proyeksi kenaikan penerimaan negara relatif terbatas.
Penerimaan perpajakan memang menjadi tumpuan utama APBN. Padahal, Indonesia dikaruniai kelimpahan sumber daya alam (SDA) seperti tambang, pertanian, perkebunan, hingga perikanan, yang semestinya mampu menopang keuangan negara bila dikelola optimal melalui hilirisasi.
Sayangnya, program hilirisasi barang tambang seperti nikel, bauksit, tembaga, dan emas lebih banyak memberikan keuntungan kepada investor asing dan swasta. Negara hanya kebagian pajak serta royalti, tanpa memperoleh nilai tambah maksimal. Kondisi ini mengingatkan pada kegagalan masa lalu saat minyak tidak lagi menjadi tulang punggung APBN akibat salah kelola.
Karena keterbatasan dalam mengoptimalkan SDA, pemerintah cenderung memaksakan pemungutan pajak di berbagai sektor. Padahal, daya beli masyarakat sudah menurun sehingga kebijakan pajak tambahan justru rawan mendapat penolakan publik. Apalagi, kasus korupsi yang menjerat pengelolaan dana APBN menurunkan kepercayaan masyarakat.
Sementara itu, efektivitas pemungutan pajak juga masih lemah. Tidak sedikit pengusaha yang lolos dari kewajiban karena adanya praktik kolusi dengan oknum aparat pajak. Kondisi ini membuat penerimaan negara tidak maksimal.
Di sisi lain, belanja negara juga perlu dirasionalisasi. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan target 82,9 juta orang memerlukan anggaran Rp335 triliun yang diambil dari pos pendidikan. Anggaran besar ini semestinya bisa ditekan jika penyalurannya tepat sasaran, yakni kepada masyarakat dalam kelompok Desil 1–5 di Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Demikian pula dengan Program Sekolah Rakyat. Pendirian sekolah baru eksklusif sebaiknya dihindari. Lebih efektif jika anak-anak dari keluarga miskin ekstrem dimasukkan ke sekolah negeri yang ada, lalu diberikan perlakuan khusus berupa kursus tambahan sesuai bakat mereka. Model ini lebih inklusif sekaligus hemat anggaran.
Tantangan lain adalah penurunan transfer ke daerah. Tahun 2025 alokasi transfer daerah sebesar Rp864,1 triliun, namun di 2026 hanya Rp650 triliun. Kondisi ini mendorong pemerintah daerah mengambil jalan pintas dengan menaikkan pajak bumi dan bangunan (PBB), yang justru menekan daya beli masyarakat.
Seharusnya, kepala daerah lebih fokus pada pemetaan potensi lokal guna meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), bukan sekadar mengandalkan kenaikan PBB. Dengan strategi kreatif, baik pusat maupun daerah bisa lebih optimal menggali anugerah SDA yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat.
Semoga pemerintah dapat lebih serius mengelola kekayaan alam dan menata fiskal secara bijak agar APBN tidak terus bergantung pada pajak semata.
Oleh : Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch
Editor : Desty Dwi Fitria
COPYRIGHT © SPOILER 2025
















































