Humor Politik: Antara Satir, Kritik, dan Letihnya Publik

0
59
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer (tengah) bersama tersangka lainnya berjalan menuju ruang konferensi pers usai terjaring OTT KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (22/8/2025). (Foto : Istimewa)

Spoiler.id – “Humor adalah senjata orang-orang yang tidak bersenjata. Humor membantu orang-orang tertindas untuk tersenyum pada situasi mereka terluka,” kata Simon Wiesenthal, penyintas Holocaust Nazi. Bagi Simon, humor menjadi pelipur duka sekaligus senjata moral untuk melawan kebiadaban. Dari balik trauma keluarga yang tewas di kamp konsentrasi, ia menyalurkan luka melalui humor dan perjuangan, hingga berhasil memburu penjahat perang Nazi, termasuk Adolf Eichmann dan Karl Jose Silberbauer.

Kisah itu mengingatkan publik Indonesia pada fenomena politik belakangan ini. Dalam sepuluh bulan terakhir, ruang publik diramaikan dengan “humor politik” yang kadang lebih mirip drama satir ketimbang kebijakan serius. Sosok Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan alias Noel, yang sebelumnya tampil garang dengan seragam berbintang empat dan retorika antikorupsi, mendadak berubah saat ditetapkan tersangka KPK terkait dugaan pemalakan sertifikasi K3.

Noel yang sebelumnya gagah memperkenalkan diri di panggung media, kini tampil muram dengan rompi oranye KPK dan tangan terborgol. Publik pun menanggapinya dengan humor satir—sebuah mekanisme sosial untuk melampiaskan kekecewaan sekaligus keletihan terhadap pejabat publik yang terjerat kasus serupa.

Di tengah rakyat yang masih dihantui wabah campak di Madura, anak balita miskin di Sukabumi yang meninggal karena cacingan, hingga guru dan dosen yang menggugat rendahnya penghasilan, publik justru disuguhi tontonan pejabat yang sibuk mencari jalan pintas memperkaya diri. Tak heran jika humor satir politik bertebaran di linimasa: dari meme tunjangan DPR hingga sindiran terhadap Noel yang kini meminta amnesti.

Fenomena ini mencerminkan dua sisi sikap masyarakat: kedewasaan dalam mengkritisi, sekaligus letih menghadapi ketidakberdayaan. Humor politik tidak sekadar hiburan, melainkan medium untuk menyuarakan kritik sosial. Seperti penelitian Towson University (2011) yang menyebutkan bahwa humor satir menjadi bagian penting dari demokrasi—alat untuk menguji kebenaran kebijakan pemerintah, memperkuat kepercayaan publik, sekaligus meningkatkan partisipasi politik.

Tak hanya soal Noel atau gaji DPR yang memicu meme, bahkan program Makan Bergizi Gratis pun kini menjadi bahan guyonan. Program yang semula dianggap solusi bagi anak-anak miskin, justru menimbulkan tanya ketika lapangan kerja makin sulit dan bantuan sosial berkurang. Publik menanggapi dengan humor karena merasa tidak ada ruang untuk berharap.

Pada akhirnya, humor adalah cermin. Ia bisa pahit, tetapi tetap ditelan karena menyajikan kebenaran yang menyakitkan dengan cara yang bisa diterima. Dalam politik Indonesia hari ini, humor satir menjadi terapi bagi masyarakat untuk tetap waras di tengah carut-marut kebijakan dan perilaku elit.

Eric Sevareid, jurnalis senior AS, pernah berkata:

“Selain kekuasaan tanpa kehormatan, sesuatu yang paling berbahaya di dunia adalah kekuasaan tanpa humor.”

Oleh: Ari Junaedi
Akademisi dan Konsultan Komunikasi

Editor : Desty Dwi Fitria
COPYRIGHT © SPOILER 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here