Jakarta, Spoiler.id – Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah. Menurutnya, keputusan tersebut bertentangan secara tekstual dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Putusan MK itu salah. Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali, termasuk untuk memilih anggota DPRD,” kata Irawan dalam keterangannya, Minggu (29/6/2025).
Irawan menilai bahwa meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), kritik tetap harus disampaikan sebagai bagian dari mekanisme kontrol dalam sistem hukum.
“Kita tidak bisa lagi hanya mengatakan putusan MK final dan harus dihormati, sementara substansinya bertentangan dengan konstitusi,” tegasnya.
Ia menambahkan, langkah korektif terhadap sistem pemilu tidak cukup hanya dengan revisi Undang-Undang Pemilu, melainkan perlu dilakukan amendemen UUD 1945 untuk menghindari intervensi lembaga yudikatif terhadap ranah legislasi.
“MK sudah terlalu jauh masuk ke ranah legislatif dan teknis pelaksanaan pemilu. Pemisahan pelaksanaan pemilu seharusnya menjadi bagian dari desain konstitusional yang disusun oleh pembentuk undang-undang, bukan tafsir MK,” ujar Irawan.
Sebelumnya, MK memutuskan bahwa mulai tahun 2029, pemilu nasional—yang mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD—harus dipisahkan dari pemilihan kepala daerah dengan rentang waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa jarak waktu yang berdekatan antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah berpotensi menenggelamkan isu-isu pembangunan daerah di tengah dominasi isu politik nasional.
“Isu pembangunan daerah tidak boleh tenggelam hanya karena pemilu pusat mendominasi ruang publik,” tegas Saldi Isra.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan, jadwal yang berdekatan tersebut juga membebani partai politik dalam menyiapkan kader secara maksimal untuk berbagai level kontestasi.
“Partai tidak punya cukup waktu melakukan perekrutan calon legislatif untuk tiga level pemilu dan juga harus menyiapkan calon presiden/wakil presiden. Ini membuat mereka terjebak pada pragmatisme,” ujarnya.
Putusan MK tersebut menuai polemik di kalangan legislatif dan pengamat konstitusi, mengingat dampaknya terhadap desain sistem pemilu nasional yang selama ini mengusung prinsip keserentakan.
Pewarta: Syafri Yantoni
Editor : Desty Dwi Fitria
COPYRIGHT © SPOILER 2025















































