Pesantren, Pilar Tradisi dan Masa Depan Bangsa

0
32
Para santri melaksanakan shalat ghaib untuk korban meninggal ambruknya mushalla Ponpes Al Khoziny Sidoarjo di masjid kompleks Pondok Pesantren Tahfidz Tebuireng 16 Wadas, Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, 5 Oktober 2025. Antara/Anis Efizudin

Jakarta, Spoiler.id — Sejak masa lampau, pesantren telah menjadi suluh dalam lorong sejarah bangsa. Tak sekadar lembaga pendidikan agama, pesantren merupakan institusi sosial budaya yang membentuk karakter, nilai, dan arah peradaban Indonesia. Memasuki peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2025, eksistensi pesantren kembali mendapat sorotan, bukan hanya sebagai warisan, tetapi juga sebagai penentu masa depan.

Peringatan HSN 2025 resmi dibuka oleh Menteri Agama pada 22 September, dengan puncak perayaan dijadwalkan pada 22 Oktober. HSN tak semata ritual tahunan, melainkan momen reflektif untuk meneguhkan kembali peran strategis pesantren dalam membangun bangsa, membentuk karakter kebangsaan, dan menjaga nilai keislaman yang inklusif.

Sejarah Panjang Pesantren: Dari Dakwah Budaya hingga Perlawanan Kolonial

Sejarah mencatat, pesantren berkembang sejak abad ke-16 seiring penyebaran Islam di Nusantara. Namun, baru pada abad ke-18 pesantren tampil sebagai lembaga yang tertata. Para wali, seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang, memanfaatkan kearifan lokal—wayang, tembang, hingga seni sastra—sebagai medium dakwah. Strategi ini menjadikan pesantren sebagai ruang perjumpaan Islam dengan budaya lokal.

Memasuki abad ke-20, pesantren tampil sebagai kekuatan perlawanan terhadap kolonialisme. Haji Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, dua tokoh besar pesantren, memilih jalur berbeda dalam merespons kolonialisme. Dahlan melakukan pembaruan sistem pendidikan dengan pendekatan modern, sementara Hasyim Asy’ari menguatkan akar tradisi dan menggalang perlawanan melalui Resolusi Jihad.

Pesantren, dalam konteks itu, tak hanya pusat ilmu agama tetapi juga simbol perlawanan, ketahanan budaya, dan penguatan identitas nasional.

Merawat Tradisi di Tengah Arus Modernisasi

Kekuatan pesantren terletak pada kelenturannya dalam menjaga tradisi sekaligus merespons modernitas. Kitab kuning, tarekat, dan tradisi zikir, istigasah, hingga pengajian rutin menjadi warisan yang masih lestari hingga kini. Namun, banyak pesantren juga sudah mengadopsi sistem pembelajaran modern, seperti penggunaan bahasa Arab dan Inggris, serta kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Contoh menarik datang dari Pesantren Al-Hikam Malang, yang memadukan metode pengajaran universitas dengan nilai-nilai salafiyah. Ini menunjukkan bahwa inovasi dalam pesantren bukanlah bentuk pembelotan dari tradisi, melainkan upaya untuk memperkuatnya dalam wajah baru.

Pesantren sebagai Penyangga Demokrasi dan Kebinekaan

Dalam konteks negara-bangsa, pesantren memiliki peran penting dalam membumikan nilai-nilai demokrasi dan pluralisme. Meski berakar pada ajaran agama, banyak pesantren justru menolak gagasan negara Islam dan memilih meneguhkan NKRI sebagai bentuk final. Sejumlah pesantren, seperti Al-Muayyad Windan, aktif dalam dialog antaragama dan resolusi konflik, menjadikan pesantren bagian dari kekuatan civil society yang kokoh.

Hal ini membuktikan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga ruang pembentukan kesadaran kolektif tentang keberagaman dan nilai-nilai kebangsaan.

Tantangan dan Transformasi Pesantren di Era Digital

Tantangan zaman tak bisa dielakkan. Pesantren kini dituntut untuk tidak hanya mendidik santri dalam aspek keagamaan, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan abad ke-21. Beberapa pesantren sudah membuka sekolah formal, kampus berbasis pesantren, hingga program kewirausahaan dan ekopesantren.

Transformasi juga tampak dari sistem tata kelola. Banyak pesantren yang kini menerapkan manajemen partisipatif, melibatkan alumni, wali santri, dan profesional pendidikan. Pengajian pun mulai disiarkan di YouTube, sementara komunikasi antaralumni memanfaatkan media sosial. Ini menjadi bukti bahwa pesantren tidak gagap teknologi, melainkan mampu beradaptasi dengan pendekatan yang arif.

Moderasi, Inklusivitas, dan Masa Depan

Meski demikian, tantangan ideologis tetap ada. Radikalisme transnasional, eksklusivisme beragama, dan tekanan terhadap otonomi pesantren perlu diantisipasi. Kurikulum inklusif, penguatan nilai toleransi, dan moderasi beragama menjadi agenda penting agar pesantren tetap menjadi benteng perdamaian dan moral publik.

Hari Santri Nasional 2025 adalah pengingat bahwa pesantren bukan sekadar institusi pendidikan warisan masa silam, tetapi juga entitas dinamis yang terus bergerak menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Ia hidup, tumbuh, dan memberi arah, bukan hanya bagi santri, tetapi bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Penopang Masa Depan Indonesia

Di tengah kompleksitas zaman, pesantren tetap menjadi ruang aman untuk tumbuhnya nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan integritas. Ia melatih santri hidup sederhana, berpikir kritis, dan mencintai tanah air. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, pesantren telah terbukti menjadi laboratorium sosial yang menyiapkan pemimpin masa depan—bukan hanya bagi umat, tetapi juga bagi republik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here