Opini Publik: Vox Populi VD
Seleksi Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Bengkulu periode 2025–2028 tengah berlangsung. Namun, alih-alih menjadi momentum memperkuat lembaga penyiaran yang independen dan kredibel, proses ini justru menimbulkan tanda tanya besar. Bukan hanya soal siapa calon yang akan terpilih, tetapi juga seberapa bersih proses seleksinya dijalankan oleh Tim Seleksi (Timsel).
Syarat formal bagi calon komisioner jelas: non-partisan, bukan anggota maupun simpatisan partai politik, serta berintegritas tinggi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Salah satu nama yang mencuat adalah Muhammad Misbach, mantan calon legislatif dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk daerah pemilihan Kota Bengkulu pada Pemilu 2024. Misbach bukan sosok asing—ia merupakan putra dari Suimi Fales, politisi senior dan petinggi PKB Bengkulu.
Keberadaan Misbach dalam daftar peserta bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia menjadi ujian moral bagi Timsel: berani menegakkan aturan atau tunduk pada kepentingan politik? Apalagi, Komisi I DPRD Bengkulu—yang nanti akan melakukan fit and proper test—dipimpin oleh Zainal, S.Sos, kader PKB. Situasi ini dengan sendirinya membuka potensi konflik kepentingan yang sulit diabaikan.
Lebih mencemaskan lagi, beberapa peserta lain diketahui memiliki catatan hitam dalam rekam jejak hukum mereka. Ada yang merupakan mantan narapidana kasus korupsi, asusila, hingga terorisme. Nama-nama itu bukan rahasia—jejak digital mereka mudah ditemukan di arsip pemberitaan publik.
Sebut saja Magdaliansih, mantan anggota DPRD Kota Bengkulu yang divonis 10 bulan penjara dalam kasus asusila. Lalu Suryawan, eks Kabag Kesra Kota Bengkulu yang dijatuhi hukuman 1 tahun 8 bulan karena korupsi. Ada pula Herawansyah Ikram, mantan Kepala Dinas PU Kabupaten Seluma yang dihukum dua tahun penjara dalam kasus serupa. Dan yang paling mengejutkan, Sardona, yang pernah divonis 8 tahun karena terlibat dalam aksi terorisme di Hotel JW Marriott Jakarta.
Memang, mereka kini membawa Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai syarat formal administrasi. Tapi kertas SKCK tidak serta-merta menghapus sejarah panjang pelanggaran hukum yang pernah mereka lakukan. Integritas tidak bisa direhabilitasi hanya lewat surat keterangan.
Karena itu, pertanyaan mendasar harus diajukan: apa sebenarnya makna “independen” dan “berintegritas” bagi Timsel KPID Bengkulu?
Apakah Timsel hanya menjadi kepanjangan tangan dari kelompok kepentingan politik, atau benar-benar berfungsi sebagai penjaga marwah lembaga penyiaran publik?
Sebelum tahapan uji publik dan penyerahan nama ke DPRD, Timsel memiliki kewenangan mutlak untuk menelusuri rekam jejak para calon. Jika mereka memilih untuk menutup mata terhadap fakta yang sudah terang benderang, maka publik berhak meragukan legitimasi seluruh proses seleksi ini.
KPID bukan sekadar lembaga teknis. Ia adalah garda etika publik dalam dunia penyiaran. Maka, jika yang duduk di dalamnya adalah figur-figur dengan catatan moral dan politik yang buram, KPID hanya akan menjadi perpanjangan tangan kepentingan tertentu—bukan suara publik.
Bengkulu tidak kekurangan orang cerdas. Tapi seleksi seperti ini menunjukkan satu hal: bahwa integritas kini menjadi barang langka di negeri kecil ini.
Dan Timsel-lah yang sedang diuji—bukan para calon.
















































