Spoiler.id – Di tengah tuntutan publik agar birokrasi Kabu Seluma bersih, justru mencuat kisah yang mencoreng kehormatan aparatur sipil negara. Skandal yang melibatkan AS, kepala dinas di lingkungan Pemkab Seluma, dan SH, tenaga honorer di salah satu OPD, menjadi potret telanjang rapuhnya moral pejabat publik.
Kronologi:
Hubungan keduanya dimulai pada 2022. Bukan sekadar hubungan profesional, tapi dugaan kumpul kebo yang berlangsung hampir tiga tahun. Selama itu, SH menjalankan peran layaknya istri: merawat, mendampingi, bahkan membiayai kebutuhan AS. Ironisnya, nyaris tak ada uang sepeserpun dari AS yang keluar untuk kehidupan bersama itu—bahkan SH sampai berutang demi membantu keluarga AS.
Puncak hubungan ini terjadi pada Oktober 2024, ketika keduanya menikah siri di rumah orang tua SH, disaksikan keluarga besar. Namun, hanya tujuh bulan kemudian, AS menceraikan SH, setelah hubungan mereka terbongkar oleh istri sah AS. Konflik pecah di kantor, ketika SH menuntut pertanggungjawaban dan pengembalian uang yang telah digunakan AS. Menurut SH, pengembalian itu baru dilakukan setelah ia memaksa.
Bak pepatah “Habis manis sepah dibuang”, ketika risiko sosial dan politik mulai mengancam, SH pun dicampakkan. Yang tersisa hanyalah rasa kecewa dan kemarahan seorang perempuan yang merasa telah diperlakukan sebagai objek, bukan manusia yang layak dihargai.
Antara Kekuasaan dan Kekosongan Etik ASN
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menuntut pejabat negara menjaga kehormatan dan integritas. Jika etika pribadi sudah menyimpang, apa bedanya antara korupsi anggaran atau korupsi moral? Moral yang bobrok di ranah privat sering kali menjadi sinyal korupsi publik yang siap merajalela. Terlebih, ada nepotisme di sana—SH bahkan bekerja sebagai honorer di OPD yang sama.
Moral dan Kekuasaan Perspektif Filsafat:
Dalam perspektif filsafat moral, AS melanggar prinsip dasar Kantian yang menuntut agar manusia diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Relasi ini memperlihatkan ketimpangan kuasa: pejabat yang memegang kendali atas karier dan posisi SH, sekaligus mengatur hidup pribadinya. Michel Foucault menyebutnya sebagai bentuk penetrasi kekuasaan ke ruang paling privat—tubuh dan kehidupan seseorang.
Yang membuat publik semakin resah, informasi dari warga Seluma menyebutkan bahwa setidaknya lima kepala dinas aktif lainnya diduga terlibat dalam praktik serupa. Jika benar, ini bukan kasus tunggal, melainkan pola budaya kekuasaan yang memanfaatkan jabatan untuk memuaskan nafsu pribadi.
Risiko Korupsi dan Pelanggaran Etika ASN
UU ASN mengamanatkan setiap pejabat untuk menjaga kehormatan, integritas, dan martabat jabatan. Hubungan tak pantas yang memanfaatkan jabatan, apalagi melibatkan bawahan, bukan hanya pelanggaran etika berat, tapi juga membuka celah penyalahgunaan anggaran dinas atau APBD. Uang rakyat bisa saja mengalir untuk membiayai relasi tak bermoral tersebut—baik secara langsung maupun terselubung.
Darurat Moral di Seluma:
Bagi publik Seluma, ini bukan sekadar gosip atau drama rumah tangga. Ini adalah cermin krisis moral di tubuh pemerintahan daerah. Ketika pejabat menjadikan jabatan sebagai alat memuaskan syahwat, maka kebijakan publik, pelayanan masyarakat, dan integritas birokrasi ikut tergerus.
Vox Populi Vox Dei: Rakyat Seluma Pemilik Kedaulatan menuntut Bupati Seluma Teddy Rahman m pembersihan menyeluruh. Tak cukup sanksi administratif atau teguran, dibutuhkan revolusi etika dan penegakan hukum yang tegas. Sebab kekuasaan tanpa moral hanyalah jalan menuju tirani—bukan kepemimpinan.
Opini Publik: Vox Populi Vox Dei
Editor : Desty Dwi Fitria
COPYRIGHT © SPOILER 2025
















































