72 Siswa Dicoret Setelah Sebulan Belajar: Potret Buram PPDB SMAN 5 di Bengkulu

0
67
Ilustrasi (Foto desain: ChatGPT/Spoiler.id)

Spoiler.id – Heru Saputra Ketua Jaringan Intelektual Manifesto Muda JIMM meminta Aparat Penegak Hukum (APH) harus menyelidiki indikasi kecurangan dalam penerimaan siswa. Ini bukan sekadar soal Dapodik, tapi ada dugaan jual beli kursi dan diskriminasi dalam PPDB

Bengkulu, Rabu (20/8/2025), halaman Gedung DPRD Provinsi Bengkulu penuh isak dan keluh kesah puluhan wali murid SMA Negeri 5. Mereka datang bukan untuk pesta demokrasi, melainkan menuntut keadilan: 72 siswa tiba-tiba dikeluarkan setelah sebulan belajar hanya karena alasan tidak terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik).

Air mata orang tua tumpah. Beberapa siswa dikabarkan trauma, ada yang dirawat di rumah sakit karena psikologis terguncang. “Anak saya menangis setiap malam, ia hanya ingin sekolah di SMA Negeri 5. Bukan yang lain,” ujar seorang ibu di hadapan anggota dewan.

Kekacauan PPDB

Kisah ini bermula dari Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2025. Wali murid mengaku, anak mereka dinyatakan lolos lewat jalur resmi domisili, tahfiz, bahkan ada yang membawa prestasi nasional. Mereka mendaftar ulang, ikut Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), dan belajar seperti siswa lainnya.

Namun, setelah sebulan, kepala sekolah SMA Negeri 5, Bihan, menyatakan hanya 36 siswa per kelas yang memiliki Dapodik resmi yang bisa dipertahankan. Sisanya dianggap “ilegal” dan diminta mencari sekolah lain.

“Kami ini bingung. Kalau memang tidak diterima, kenapa dari awal dipanggil, ikut MPLS, bahkan ikut lomba nasional atas nama SMA 5?” tegas salah satu wali murid.

DPRD: Ada Titipan dan Uang yang Mengalir

Ketua Komisi IV DPRD Bengkulu, Usin Abdisyah Sembiring, tak menampik adanya kejanggalan. “Semua pihak salah. Orang tua begitu bernafsu ingin anaknya masuk SMA 5, sampai ada yang titipan, bahkan ada uang mengalir. Jangan berpikir kami tidak tahu,” ujarnya tegas.

Namun, DPRD tetap membentuk tim khusus bersama Dinas Pendidikan, pihak sekolah, dan perwakilan wali murid untuk mencari solusi, termasuk relokasi siswa ke sekolah lain. Meski begitu, pertanyaan publik tetap mengemuka: siapa aktor di balik bobroknya PPDB ini?

Kritik Jaringan Intelektual Manifesto Muda (JIMM)

Ketua JIMM, Heru Saputra, menilai kasus ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan cermin rusaknya sistem pendidikan di Bengkulu.

“SMA 2 dan SMA 5 harus buka seleksi ulang. Aparat Penegak Hukum (APH) harus menyelidiki indikasi kecurangan dalam penerimaan siswa. Ini bukan sekadar soal Dapodik, tapi ada dugaan jual beli kursi dan diskriminasi dalam PPDB,” tegas Heru.

Ia menambahkan, praktik seperti ini jelas bertentangan dengan UUD 1945, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dan nilai-nilai Pancasila.

Pancasila sila ke-5, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dikhianati ketika hanya siswa “berduit” atau “titipan pejabat” yang diakomodasi.

UUD 1945 Pasal 31 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Namun, hak dasar itu dirampas oleh permainan administrasi.

UU Sisdiknas No. 20/2003 menekankan prinsip nondiskriminasi. Tapi PPDB Bengkulu justru melahirkan diskriminasi sistemik.

“Jika pendidikan sudah diperdagangkan, kita sedang menyiapkan generasi frustrasi, bukan generasi emas 2045,” pungkas Heru.

Vox Populi, Vox Dei

Kasus 72 siswa SMA Negeri 5 Bengkulu menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Pendidikan adalah mandat konstitusi, bukan proyek dagang.

Suara orang tua yang berderai air mata adalah suara rakyat yang terluka. Dalam adagium klasik, “Vox Populi, Vox Dei” — suara rakyat 72 Siswa yang menderita dikeluarkan dari SMAN 5 adalah suara Tuhan.

Kini publik menunggu, apakah pemerintah daerah dan aparat hukum akan berpihak pada suara rakyat, atau justru melindungi para aktor titipan yang merusak masa depan anak bangsa?

Oleh: Vox Populi Vox Dei

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here