Jakarta, Spoiler.id – Pernyataan Bupati Pati Sudewo yang menegaskan dirinya tidak akan mundur karena dipilih rakyat, memantik perdebatan publik setelah kebijakannya menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Pati, Jawa Tengah menuai penolakan. Fenomena ini menunjukkan bahwa terpilih melalui pemilu langsung tidak serta merta memberikan legitimasi mutlak bagi seorang pemimpin ketika kebijakannya tidak berpihak pada rakyat.
Fenomena tersebut bukan hal baru. Sejarah dunia mencatat banyak penguasa kehilangan kekuasaan karena terisolasi dari rakyatnya. Polanya berulang: penguasa tenggelam dalam lingkaran elite penjilat, menutup telinga terhadap keluhan masyarakat, dan hidup dalam privilese yang jauh dari realitas.
Contohnya, Raja Rehabeam dari Yehuda pada abad ke-10 SM yang menolak meringankan beban rakyat, Raja Roma Tarquinius Superbus pada abad ke-6 SM yang digulingkan akibat tirani, hingga Kaisar Commodus pada abad ke-2 M yang lebih sibuk menjadi gladiator daripada mengurus negara. Semuanya berakhir dengan keruntuhan kekuasaan.
Pelajaran penting dari sejarah tersebut, sebagaimana disampaikan oleh sejumlah pakar politik, ialah bahwa penguasa akan kehilangan legitimasi jika:
-
Terisolasi dari kebenaran dengan hanya mendengar lingkaran penjilat,
-
Terlalu percaya diri pada loyalitas rakyat,
-
Hidup berlebihan tanpa memperhatikan kebutuhan mendesak rakyat,
-
Mengandalkan intimidasi dan hukum untuk membungkam kritik, serta
-
Mengabaikan tanda-tanda keresahan masyarakat.
Fenomena Sudewo di Pati pun menjadi gambaran nyata bagaimana pola tersebut berulang. Ia merasa “terang di atas” karena privilese kekuasaan, sementara rakyat “gelap di bawah” menghadapi beban hidup akibat kenaikan pajak. Analogi ini mengingatkan pada perdebatan “Indonesia Terang” dan “Indonesia Gelap” yang mencerminkan kesenjangan tajam antara kelompok elit dan masyarakat bawah.
Jika Indonesia tidak ingin mengulang sejarah buruk peradaban manusia, maka yang dibutuhkan adalah kondisi “Terang di atas dan terang di bawah”. Artinya, pemimpin harus bersedia turun merasakan kesulitan rakyat, bukan sekadar menikmati kenyamanan kekuasaan. Dengan begitu, perdebatan bisa dilakukan dalam ruang yang sama dan dengan cahaya yang sama—demokrasi yang sehat dan adil.
Oleh: Ir. Laksamana Sukardi
Editor : Desty Dwi Fitria
COPYRIGHT © SPOILER 2025
















































